Friday 18 April 2014

“Tsunami Museum Aceh, One Of Amazing Buildings in Indonesia !”


“Subhanallah, La Haula wala quwwata Illa Billah!”.Itu kata-kata yang bisa saya ucapkan ketika pertama kali menapaki Museum tsunami Aceh.Saya berdecak kagum. Bersama Juraida saya di temani untuk berkeliling di gedung yang megah nan wah ini.


Museum Tsunami Aceh terletak di lokasi taman sari  kota Banda Aceh kira-kira 500 meter  dari Masjid Raya Biturrahman  Banda Aceh.Di belakangnya terdapat komplek kuburan Belanda. Letaknya strategis dan di tengah kota, menjadikan tempat ini sebagai alternatif untuk mengisi liburan. Terbukti lebih 1000 pengunjung datang setiap harinya.

“Ini merupakan Akses awal pengunjung  memasuki Museum Tsunami yang memiliki panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m melambangkan tingginya gelombang tsunami yang terjadi pada tahun 2004 silam.  Air mengalir di kedua sisi dinding museum,  dengan suara gemuruh air dan cahaya yang remang-remang agak gelap, lembab dan lorong yang sempit, mendeskripsikan perasaan rasa takut masyarakat Aceh pada saat tsunami terjadi, yang disebut space of fear.”
           


Juraida menjelaskan sambil menyusuri lorong gelap yang terpampang di depan.Perlu saya jelaskan. Juraida merupakan teman saya. Kebetulan dia sudah paham betul dengan seluk-beluk parawisata yang ada di Banda Aceh. Sehingga dia menjadi pemandu saya untuk mengelilingi mesium yang mewah ini.

Sebuah lorong gelap sepanjang 30 meter terbentang . Dari sisi kanan kiri dinding, air mengucur secara perlahan namun pasti. Memericik basah hingga lintasan jalan.

 Lorong berakhir di sebuah ruangan yang di kenal dengan ruang kenangan ( memorial hall). Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami. Sebanyak 40 gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide. Gambar dan foto ini seakan mengingatkan kembali kejadian tsunami yang melanda Aceh atau disebut space of memory yang sulit di lupakan dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut.Foto-foto itu tampil bergantian dengan selang beberapa detik.



“Ruang dengan dinding kaca ini memiliki filosofi keberadaan di dalam laut (gelombang tsunami). Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung seolah-olah tengah berada di dalam laut, dilambangkan dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut, monitor-monitor yang ada di dalam ruangan dilambangkan sebagai bebatuan yang ada di dalam air, dan lampu-lampu remang yang ada di atap ruangan dilambangkan sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar laut. “Juraida mencoba untuk menjelaskan.

 “Jadi dalam ruangan ini kita seakan-akan berada di dalam lautan.”

Melalui Ruang Kenangan (Memorial Hall),Penelusuran kami kemudian beranjak ke ruang sumur doa(Chamber of Blessing). Disebut sumur doa,karena ruangan ini berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30 meter dan memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama korban tsunami yang tertera disetiap dindingnya.




“Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan pengunjung yang memasuki ruangan ini dianjurkan untuk mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablumminallah) yang dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas cerobong dengan cahaya yang mengarah ke atas dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Melambangkan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada Allah sebagai sang Khaliq”.Tambah Juraida.

Dalam hati saya bergumam.”Sungguh luar biasa insting Arsitek yang merancang gedung ini.”

Saya pernah membaca sebuah majalah pasca rekontruksi Aceh yang menjelaskan tentang proyek pembuatan mesium tsunami ini.Di situ di jelaskan bahwa mesium ini merupakan hasil karya sang Arsitek Ridwan Kamil seorang Dosen Insitut Teknologi Bandung(ITB).Dia mengusung filosofi mesium ini, Rumoh Aceh as Escape Hill yang berwarna coklat dengan tembok berlubang-lubang. Jika diperhatikan dari atas akan tampak seperti gelombang tsunami. Namun, bila diperhatikan dari samping akan tampak seperti kapal,lengkap dengan cerobong asap dan geladak yang luas sebagai ecape building.
Kemudian Juraida mengajak saya untuk menuju lantai teratas dan ruang museum yang lain.Kami melewati lintasan jalan melingkar disisian sumur doa.Lantainya tak rata, bergelombang. Besi panjang melingkar di dinding sebagai pegangan. Cahaya yang minim membuat kami kesulitan untuk berjalan.

Kesulitan dan kebingungan inilah yang digambarkan dalam lintasan ini. Kebingungan masyarakat Aceh akan tujuan hidup, kehilangan sanak keluarga dan juga kebingungan hilangnya harta benda.Maka filosofi lorong ini disebut Space of Confuse. Kebingungan ini berhenti diujung lorong. Perlahan cahaya terang mulai tampak, melambangkan bahwa masyarakat Aceh pada saat itu masih memiliki harapan dengan adanya bantuan dunia untuk Aceh guna membantu memulihkan kondisi fisik dan psikologis masyarakat Aceh yang pasca tsunami  mengalami trauma dan kehilangan yang besar. lintasan terasa lebih rata. Diujung sana jembatan kayu terbentang di tengah kolam.






“Itu merupakan jembatan harapan!” seru Juraida.

Jembatan sepanjang 15 meter ini melintang menuju area ruang pameran. Juraida menjelaskan, “Disebut jembatan harapan karena melalui jembatan ini pengunjung dapat melihat 54 bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera sama denga jumlah batu yang tersusun di pinggiran kolam. Di setiap bendera dan batu bertuliskan kata ‘Damai’ dengan bahasa dari masing-masing negara sebagai refleksi perdamaian Aceh dari peperangan dan konflik sebelum tsunami terjadi. Dunia melihat secara langsung kondisi Aceh, mendukung dan membantu perdamaian Aceh, serta turut andil dalam membangun (merekontruksi) Aceh setelah pasca bencana yang menimpa Aceh.






Oh iya, sebelumnya saya belum menjelaskan bahwa ketika pertama kali saya memasuki halaman mesium, saya menemukan adanya bangkai helikopter milik Polri yang menjadi saksi bisu keganasan gelombang tsunami. Konon katanya,  Helikopter tersebut tidak sempat terbang akibat telah dilumat terlebih dahulu oleh kedahsyatan gelombang tsunami.Dan saya sempat mengabadikan momen tersebut dalam sebuah jepretan foto.






Jam telah menununjukkan jarumnya pada angka 12. Kami pun akhirnya mengakhiri perjalanan ini , bergegas untuk menelusuri objek wisata lainnya di Banda Aceh. Dalam perjalanan pulang kami berpas-pasan dengan beberapa bulek, turis asing yang mengunjungi mesium. Saya mencoba mendekat pada mereka. Saya memberanikan diri untuk bertanya , sharing pendapat tentang bangunan megah yang mereka kunjungi ini.



“What do you think about this museum. Is it wonderfull?” sambil tersenyum saya mengutarakan pertanyaan kepada meraka.
Yes,it’s great!. I love this building.It’s one of amazing buildings in Indonesia.” Mereka memberikan pendapat dengan jelas dan terbuka.



No comments:

Post a Comment