Monday 29 September 2014

Eksistensi Bireuen Sebagai Pencetak Kader Ulama

“Bireuen kota juang, Bireuen kota seribu satu dayah !” Kata-kata ini tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Melalui percakapan sehari-hari , dalam serba-serbi politik , serta di berbagai media sosial menyebut bireuen sebagai kota juang. Tak terkecuali bagi saya , historis bireuen sudah terekam jauh-jauh hari di benak dan sanubari yang paling dalam. Why? Karena tanah kelahiran saya terletak di salah satu daerah yang merupakan bagian dari kabupaten Bireuen.  Samalanga tepatnya! Merupakan kota kelahiran saya yang penuh dengan hiruk-pikuk keagamaan. Kekentalan religius sangat terasa di kota yang berjulukan “kota santri” ini. Saat ini Samalanga dikenal sebagai kota santri karena banyaknya dayah( pesantren) yang tumbuh berkembang di daerah ini. Di antaranya adalah Dayah MUDI Mesra yang sudah memberikan kontribusi yang besar untuk perjuangan agama Islam sejak zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda.Dayah ini sangatlah tidak asing lagi bagi saya karena letaknya yang sangat strategis di tempat kelahiran saya. Salah satu dayah terbesar di Aceh yang dipimpin pertama kali oleh Faqeh Abdul Ghani, hingga saat ini dibawah kepemimpinan seorang ulama kharismatik di Bireuen, Teungku Hasanoel Bashry yang lebih akrab disapa dengan panggilan Abu MUDI.Nama resminya Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal Ulum Diniyyah Islamiyyah Mesjid Raya yang lebih dikenal dengan sebutan LPI atau Dayah MUDI Mesra. Santri dan masyarakat senang dayahnya disebut Mesra. Pasalnya, selain satu lokasi dengan Mesjid Raya, kemesraan sang Abu MUDI dalam mengajar selalu menjadi cerita dan kenangan tersendiri bagi masyarakat.





            Dalam bingkai historis, Dayah MUDI Mesra telah didirikan seiring pembangunan Mesjid Raya yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Dayah ini berlokasi di Desa Mideun Jok, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Pimpinan pertama dayah ini bernama Faqeh Abdul Ghani.             Memasuki tahun 1927, barulah dijumpai secara jelas catatan tentang kepemimpinan Dayah ini. Pada tahun tersebut, Dayah ini dipimpin Teungku H Syihabuddin bin Idris dengan santri berjumlah 100 orang putra dan 50 orang putri. Mereka diasuh lima tenaga pengajar lelaki dan dua guru perempuan.
            Di bawah kepemimpinan Abu MUDI sampai dengan sekarang, dayah ini kian maju dan berkembang pesat. Jumlah santri terus berdatangan dari seluruh penjuru Aceh dan juga dari luar daerah bahkan dari negera-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam.




            Tidak hanya MUDI Mesra, Bireuen juga memiliki beberapa dayah yang eksestensinya sangat menjanjikan untuk pengkaderan calon-calon ulama masa depan. Seperti dayah Ummul Ayman Samalanga dibawah pimpinan Tgk Nuruzzahri( Waled Nu), Dayah Putri Muslimat Samalanga yang dipimpin oleh Tgk.H Ahmaddellah,Dayah Babussalam Blang Bladeh pimpinan Tgk H Amin Mahmud , Dayah Darusa’adah Lipah Rayek pimpinan Tgk Muhammad AR,Lalu 2 Dayah di Kecamatan Simpang Mamplam yaitu Dayah Thaultiatut Thullah Arongan pimpinan Tgk Sofyan Mahdi dan Dhiaul Huda Keude Tambue pimpinan Tgk Abbas Abdullah. Ada beberapa dayah lagi yang dimiliki oleh Bireuen yang siap menampung para calon teungku-teungku yang akan meneruskan estafet perjuangan Islam di Aceh bahkan Nusantara.
            Maka, tidaklah berlebihan Bireuen disebut sebagai kota seribu satu dayah. Bireuen Kota Juang , para pejuang yang berasal dari golongan santri yang senantiasa berjihad mempertahankan agama Allah yang lambat laun makin memudar. Dayah merupakan benteng pertahanan generasi muda dari segala pendangkalan akidah dan kemaksiatan. Dengan adanya dayah, maka anak-anak tidak mudah terpengaruh oleh dunia globalisasi saat ini.





            Akhir-akhir berembus beberapa wacana yang menyatakan bahwa Bireuen akan dideklarasikan sebagai kota santri pada tahun 2015. Hal itu ditegaskan oleh Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Kabupaten Bireuen, Dr Saifullah, M.Ag disaat memberikan orasi ilmiah pada  Penutupan pelatihan Menulis dan Pengembangan IT bagi Santri Bireuen dan pelantikan pengurus Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) Cabang Kabupaten Bireuen di Dayah Babussalam Al-Aziziyah ,Jeunieb. Beliau mengemukakan bahwa akan ditetapkan  10 dayah model di Bireuen, seperti Dayah MUDI Mesra sebagai Dayah Ma’had’ Aly Modern. Dayah Ummul Ayman sebagai Dayah Tahfiz. Dayah Babussalam Al-Aziziyah sabagai Dayah Multimedia. Dayah Nurul Jadid yang pernah menjadi juara dua Khattil Quran sebagai dayah Seni Islami dan Dayah Jami’ah al-Aziziyah sebagai Dayah Kejuruan. Dayah-dayah itu nanti akan ditetapkan sebaga zona kunjungan saat prosesi penetapan Bireuen sebagai kota santri.

 
            Sebenarnya tanpa dideklarasikan pun, Bireuen sudah sangat dikenal sebagai kota santri layaknya daerah samalanga yang telah memakai slogan tersebut.Namun, pendeklarasian tersebut diperlukan untuk pengukuhan secara nasional dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak sebagai sebuah contoh model kota santri.  Kita sangat berharap semoga apa yang dikemukakan oleh Kepala BPPD Bireuen bukan hanya isapan jempol belaka. Kontribusi Pemerintah sangat diharapkan untuk membenahi berbagai macam fasilitas yang masih belum layak sebagai indikator dayah yang berbasis IT .



            Akhir kata, Eksestensi Bireuen sebagai Kota Pencetak Kader Ulama harus di pertahankan. Sudah seyogya nya wacana pemerintah yang akan mendeglarasikan Bireuen sebagai kota santri harus direalisasikan dengan baik. Bantuan-bantuan berupa dana sosial, pembangunan yang merata terhadap dayah harus diwujudkan. Para pemimpin rakyat harus ikhlas, Lillahita’ala dalam menjalankan amanah Allah yang dititahkan kepada mereka untuk menyalurkan dana kepada dayah-dayah yang masih membutuhkan perbaikan untuk masa yang akan datang. Semoga !





Friday 18 April 2014

“Tsunami Museum Aceh, One Of Amazing Buildings in Indonesia !”


“Subhanallah, La Haula wala quwwata Illa Billah!”.Itu kata-kata yang bisa saya ucapkan ketika pertama kali menapaki Museum tsunami Aceh.Saya berdecak kagum. Bersama Juraida saya di temani untuk berkeliling di gedung yang megah nan wah ini.


Museum Tsunami Aceh terletak di lokasi taman sari  kota Banda Aceh kira-kira 500 meter  dari Masjid Raya Biturrahman  Banda Aceh.Di belakangnya terdapat komplek kuburan Belanda. Letaknya strategis dan di tengah kota, menjadikan tempat ini sebagai alternatif untuk mengisi liburan. Terbukti lebih 1000 pengunjung datang setiap harinya.

“Ini merupakan Akses awal pengunjung  memasuki Museum Tsunami yang memiliki panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m melambangkan tingginya gelombang tsunami yang terjadi pada tahun 2004 silam.  Air mengalir di kedua sisi dinding museum,  dengan suara gemuruh air dan cahaya yang remang-remang agak gelap, lembab dan lorong yang sempit, mendeskripsikan perasaan rasa takut masyarakat Aceh pada saat tsunami terjadi, yang disebut space of fear.”
           


Juraida menjelaskan sambil menyusuri lorong gelap yang terpampang di depan.Perlu saya jelaskan. Juraida merupakan teman saya. Kebetulan dia sudah paham betul dengan seluk-beluk parawisata yang ada di Banda Aceh. Sehingga dia menjadi pemandu saya untuk mengelilingi mesium yang mewah ini.

Sebuah lorong gelap sepanjang 30 meter terbentang . Dari sisi kanan kiri dinding, air mengucur secara perlahan namun pasti. Memericik basah hingga lintasan jalan.

 Lorong berakhir di sebuah ruangan yang di kenal dengan ruang kenangan ( memorial hall). Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami. Sebanyak 40 gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide. Gambar dan foto ini seakan mengingatkan kembali kejadian tsunami yang melanda Aceh atau disebut space of memory yang sulit di lupakan dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut.Foto-foto itu tampil bergantian dengan selang beberapa detik.



“Ruang dengan dinding kaca ini memiliki filosofi keberadaan di dalam laut (gelombang tsunami). Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung seolah-olah tengah berada di dalam laut, dilambangkan dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut, monitor-monitor yang ada di dalam ruangan dilambangkan sebagai bebatuan yang ada di dalam air, dan lampu-lampu remang yang ada di atap ruangan dilambangkan sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar laut. “Juraida mencoba untuk menjelaskan.

 “Jadi dalam ruangan ini kita seakan-akan berada di dalam lautan.”

Melalui Ruang Kenangan (Memorial Hall),Penelusuran kami kemudian beranjak ke ruang sumur doa(Chamber of Blessing). Disebut sumur doa,karena ruangan ini berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30 meter dan memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama korban tsunami yang tertera disetiap dindingnya.




“Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan pengunjung yang memasuki ruangan ini dianjurkan untuk mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablumminallah) yang dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas cerobong dengan cahaya yang mengarah ke atas dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Melambangkan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada Allah sebagai sang Khaliq”.Tambah Juraida.

Dalam hati saya bergumam.”Sungguh luar biasa insting Arsitek yang merancang gedung ini.”

Saya pernah membaca sebuah majalah pasca rekontruksi Aceh yang menjelaskan tentang proyek pembuatan mesium tsunami ini.Di situ di jelaskan bahwa mesium ini merupakan hasil karya sang Arsitek Ridwan Kamil seorang Dosen Insitut Teknologi Bandung(ITB).Dia mengusung filosofi mesium ini, Rumoh Aceh as Escape Hill yang berwarna coklat dengan tembok berlubang-lubang. Jika diperhatikan dari atas akan tampak seperti gelombang tsunami. Namun, bila diperhatikan dari samping akan tampak seperti kapal,lengkap dengan cerobong asap dan geladak yang luas sebagai ecape building.
Kemudian Juraida mengajak saya untuk menuju lantai teratas dan ruang museum yang lain.Kami melewati lintasan jalan melingkar disisian sumur doa.Lantainya tak rata, bergelombang. Besi panjang melingkar di dinding sebagai pegangan. Cahaya yang minim membuat kami kesulitan untuk berjalan.

Kesulitan dan kebingungan inilah yang digambarkan dalam lintasan ini. Kebingungan masyarakat Aceh akan tujuan hidup, kehilangan sanak keluarga dan juga kebingungan hilangnya harta benda.Maka filosofi lorong ini disebut Space of Confuse. Kebingungan ini berhenti diujung lorong. Perlahan cahaya terang mulai tampak, melambangkan bahwa masyarakat Aceh pada saat itu masih memiliki harapan dengan adanya bantuan dunia untuk Aceh guna membantu memulihkan kondisi fisik dan psikologis masyarakat Aceh yang pasca tsunami  mengalami trauma dan kehilangan yang besar. lintasan terasa lebih rata. Diujung sana jembatan kayu terbentang di tengah kolam.






“Itu merupakan jembatan harapan!” seru Juraida.

Jembatan sepanjang 15 meter ini melintang menuju area ruang pameran. Juraida menjelaskan, “Disebut jembatan harapan karena melalui jembatan ini pengunjung dapat melihat 54 bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera sama denga jumlah batu yang tersusun di pinggiran kolam. Di setiap bendera dan batu bertuliskan kata ‘Damai’ dengan bahasa dari masing-masing negara sebagai refleksi perdamaian Aceh dari peperangan dan konflik sebelum tsunami terjadi. Dunia melihat secara langsung kondisi Aceh, mendukung dan membantu perdamaian Aceh, serta turut andil dalam membangun (merekontruksi) Aceh setelah pasca bencana yang menimpa Aceh.






Oh iya, sebelumnya saya belum menjelaskan bahwa ketika pertama kali saya memasuki halaman mesium, saya menemukan adanya bangkai helikopter milik Polri yang menjadi saksi bisu keganasan gelombang tsunami. Konon katanya,  Helikopter tersebut tidak sempat terbang akibat telah dilumat terlebih dahulu oleh kedahsyatan gelombang tsunami.Dan saya sempat mengabadikan momen tersebut dalam sebuah jepretan foto.






Jam telah menununjukkan jarumnya pada angka 12. Kami pun akhirnya mengakhiri perjalanan ini , bergegas untuk menelusuri objek wisata lainnya di Banda Aceh. Dalam perjalanan pulang kami berpas-pasan dengan beberapa bulek, turis asing yang mengunjungi mesium. Saya mencoba mendekat pada mereka. Saya memberanikan diri untuk bertanya , sharing pendapat tentang bangunan megah yang mereka kunjungi ini.



“What do you think about this museum. Is it wonderfull?” sambil tersenyum saya mengutarakan pertanyaan kepada meraka.
Yes,it’s great!. I love this building.It’s one of amazing buildings in Indonesia.” Mereka memberikan pendapat dengan jelas dan terbuka.